Beranda | Artikel
Fikih Pengurusan Jenazah (4): Persiapan Menguburkan Mayit
Rabu, 25 Januari 2023

Apa saja yang diperlukan dalam persiapan menguburkan mayit? Simak pembahasannya di artikel berikut ini.

[lwptoc]

Hukum menguburkan mayit

Menguburkan mayit hukumya fardhu kifayah. Andaikan ada seorang muslim di suatu daerah meninggal dunia dan tidak ada seorang muslim pun yang menguburkannya, maka seluruh penduduk daerah tersebut berdosa. Namun, ketika sudah ada sebagian muslim yang mencukupi untuk menguburkannya, maka kewajibannya gugur dari kaum muslimin yang lain.

Allah Ta’ala berfirman,

فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ

“Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qabil). Bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya” (QS. Al-Maidah: 31)

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا

“Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul. Bagi orang-orang hidup dan orang-orang mati.” (QS. Al-Mursalat: 25–26)

Allah Ta’ala juga berfirman,

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ

“Kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya.” (QS. ‘Abasa: 21)

Ayat-ayat di atas menunjukkan disyariatkannya menguburkan orang yang telah meninggal.

Dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اذهبوا، فادْفِنوا صاحِبَكم

“Segeralah beranjak dan kuburkan teman kalian itu…!” (HR. Muslim no. 2236)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang para syuhada,

ادفِنوا القَتْلى في مصارِعِهم

“Kuburkanlah orang yang terbunuh di tempat mereka berperang.” (HR. Abu Daud no. 3165, At-Tirmidzi no. 1717, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa menguburkan orang yang mati hukumnya wajib. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkannya dengan kalimat perintah. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan,

وأجمعوا على أنَّ دَفْنَ المَيِّت لازِمٌ  واجِبٌ على النَّاسِ لا يَسَعُهم تَرْكُه عند الإمكانِ، ومن قام به منهم سقط فَرْضُ ذلك على سائِرِ المُسلمين

Para ulama ijma’ (sepakat), menguburkan mayit itu wajib. Sehingga wajib bagi orang-orang untuk melakukannya dan tidak boleh meninggalkannya, selama masih memungkinkan. Dan jika sudah ada yang melakukannya, gugur kewajibannya dari kaum muslimin yang lain.” (Al-Ijma‘, hal. 44)

Waktu pemakaman

Waktu untuk memakamkan mayit adalah masalah yang longgar. Pada asalnya pemakaman boleh dilakukan kapan pun, dengan berusaha menyegerakan pemakaman mayit dan tidak menundanya tanpa uzur.

Namun, para ulama melarang untuk memakamkan mayit pada tiga waktu terlarang sebagaimana waktu terlarang salat. Dalam hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ثلاثُ ساعاتٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم ينهانا أن نُصَلِّيَ فيهنَّ، وأن نَقْبُرَ فيهِنَّ موتانا: حين تَطْلُعُ الشَّمْسُ بازغةً حتى ترتفِعَ، وحين يقومُ قائِمُ الظَّهيرةِ حتى تزولَ، وحين تَضَيَّفُ الشَّمْسُ للغُروبِ

“Ada tiga waktu yang dahulu dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk salat dan menguburkan orang meninggal di antara kami. Yaitu, (1) ketika baru saja matahari terbit sampai agak meninggi, (2) ketika matahari tegak lurus sampai sedikit bergeser, dan (3) ketika matahari hampir tenggelam.” (HR. Muslim no. 831)

Adapun melakukan pemakaman di malam hari, para ulama empat mazhab membolehkannya. Berdasarkan hadis dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أنَّ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، مرَّ بقبرٍ قد دُفِنَ ليلًا، فقال: متى دُفِنَ هذا؟ قالوا: البارحةَ، قال: أفَلَا آذَنْتُموني؟ قالوا: دفنَّاه في ظُلْمَةِ اللَّيلِ، فكَرِهْنا أن نُوقِظَك، فقام، فصَفَفْنا خَلْفَه، قال ابنُ عبَّاس: وأنا فيهم، فصلَّى عليه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati kuburan yang jenazahnya dikuburkan di malam hari. Beliau bersabda, ‘Kapan ia dikuburkan?’ Para sahabat menjawab, ‘Tadi malam, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa kalian tidak memberitahu aku?’ Para sahabat menjawab, ‘Tadi malam kami menguburkannya di kegelapan malam. Kami tidak ingin membangunkan Anda, wahai Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berdiri dan menyusunkan dalam saf di belakang beliau. Ibnu Abbas mengatakan, ‘Aku salah satu di antara mereka.’ Kemudian Rasulullah dan para sahabat pun melakukan salat (jenazah) untuknya.” (HR. Bukhari no. 1321, Muslim no. 954)

Larangan duduk sebelum mayit dikuburkan

Terdapat larangan bagi para pengiring jenazah untuk duduk di area pemakaman sebelum mayit dimakamkan. Karena terdapat larangannya dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا اتَّبَعْتم جِنازة، فلا تجلسوا حتى تُوضَعَ

“Jika kalian mengiringi jenazah, maka jangan duduk sampai ia dimasukkan ke liang kubur.” (HR. Bukhari no. 1310, Muslim no. 959)

Dari hadis ini, sebagian ulama mengatakan bahwa duduknya para pengiring jenazah sebelum mayit dimakamkan, hukumnya makruh. Ini pendapat mazhab Hanafi, Hambali, Ibnul Qayyim dan Asy-Syaukani. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin.

Namun, Malikiyah dan Syafi’iyyah membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang bicara tentang tata cara pengurusan jenazah. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قامَ، ثُمَّ قَعَدَ

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri ketika menunggu jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk.” (HR. Muslim no. 962)

Mereka memaknai perkataan “kemudian setelah itu beliau duduk” sebagai nasakh. Yakni, larangan untuk duduk sebelum mayit dikuburkan telah mansukh (dihapus).

Namun, yang lebih berhati-hati adalah memilih pendapat yang pertama, karena perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Demikian juga, tidak duduk sebelum mayit dikuburkan ini lebih memberikan penghormatan kepada mayit. Wallahu a’lam.

Tempat memakamkan mayit

Tempat yang paling utama untuk memakamkan mayit seorang muslim adalah di pemakaman kaum muslimin. Ini adalah pendapat ulama 4 mazhab. Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memakamkan jenazah kaum muslimin di pemakaman Baqi’. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

حديثُ الدَّفنِ بالبقيعِ صحيحٌ متواتِر

Hadis tentang memakamkan jenazah di Baqi’ statusnya shahih mutawatir.” (Al-Majmu‘, 5: 282)

Manfaat yang didapatkan jika jenazah dimakamkan di pemakaman kaum muslimin di antaranya:

Pertama: Akan banyak didoakan oleh orang-orang yang berziarah kubur atau melewati pemakaman. (Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, 2: 379)

Kedua: Menyerupai perkampungan akhirat di mana kaum mukminin semua berkumpul kelak di akhirat. (Syarah Muntahal Iradat karya Al-Buhuti, 1: 376)

Ketiga: Lebih sedikit mudaratnya bagi keluarga mayit. (Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, 2: 379)

Dan pemakaman kaum muslimin hendaknya dipisah dengan pemakaman nonmuslim. Sebagaimana hadis dari Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِقُبُورِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ : ( لَقَدْ سَبَقَ هَؤُلاَءِ خَيْرًا كَثِيرًا ) ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَرَّ بِقُبُورِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ :( لَقَدْ أَدْرَكَ هَؤُلاَءِ خَيْرًا كَثِيرًا )

“Ketika aku menjadi teman jalannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami melewati pemakaman kaum musyrikin. Beliau bersabda, ‘Sungguh dahulu (ketika hidup) mereka merasakan banyak kebaikan.’ Beliau katakan ini 3x. Kemudian kami melewati pemakaman kaum muslimin, beliau bersabda, ‘Sungguh mereka sekarang mendapatkan kebaikan yang banyak.’” (HR. Abu Daud no. 3230, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Hadis ini menunjukkan bahwa yang diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat adalah mereka memisahkan pemakaman kaum muslimin dengan pemakaman nonmuslim.

Dan ulama sepakat akan hal ini. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan,

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ دَفْنُ مُسْلِمٍ فِي مَقْبَرَةِ الْكُفَّارِ وَعَكْسُهُ إِلاَّ لِضَرُورَةٍ

Para fuqaha sepakat bahwa diharamkan memakamkan muslim di pemakaman orang kafir atau sebaliknya, kecuali jika darurat.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 19: 21)

Jenazah muslim boleh dimakamkan di pemakaman nonmuslim atau pemakaman umum yang tercampur antara muslim dan nonmuslim jika kondisinya darurat. Semisal tidak ada lahan lain, atau lahan pemakaman harus membeli dengan harga mahal, atau pemerintah memaksa untuk dimakamkan di sana.

Jumhur ulama dari Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Malikiyah membolehkan untuk memakamkan mayit di rumah.  Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimakamkan di rumah ‘Aisyah. Demikian juga Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma, dimakamkan di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah ‘Aisyah.

Namun, yang rajih dan lebih hati-hati adalah pendapat yang melarang memakamkan mayit di rumah. Sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا تَجْعلوا بُيُوتَكم مقابِرَ

“Jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan!” (HR. Muslim no. 780)

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Wajib memakamkan mayit di pemakaman kaum muslimin, tidak boleh di rumahnya. Adapun Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma dimakamkan di rumah ‘Aisyah karena mereka berdua adalah sahabat yang istimewa bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga pemakaman beliau bertiga di dalam rumah adalah pemakaman yang khusus. Berdasarkan ijtihad dari sebagian sahabat.” (At-Ta’liq ‘ala Riyadhis Shalihin ‘ala Qira’ah, Syekh Muhammad Ilyas, no. 168)

Memindahkan mayit ke daerah lain sebelum dimakamkan

Yang paling utama bagi mayit adalah dimakamkan di tempat ia meninggal. Ibnul Munzir rahimahullah mengatakan,

يُستَحَبُّ أن يُدْفَنَ المَيِّتُ في البلدِ الذي تُوُفِّيَ فيه، على هذا كان الأمْرُ على عهدِ رسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، وعليه عوامُّ أهلِ العِلْمِ، وكذلك تفعلُ العامَّة في عامَّة البلدان

Dianjurkan untuk memakamkan mayit di daerah tempat ia wafat. Itulah yang biasa dilakukan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga keumuman praktek para ulama. Dan ini pula yang dipraktekkan oleh keumuman kaum muslimin di berbagai negeri.” (Al-Ausath, 5: 516)

Namun, dibolehkan untuk memindahkan mayit ke daerah lain jika ada kebutuhan. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Imam Malik rahimahullah mengatakan,

إنَّ سعدَ بنَ أبي وقَّاصٍ وسعيدَ بنَ زيدٍ ماتا بالعقيقِ، فحُمِلَا إلى المدينةِ، ودُفِنَا بها

Sa’ad bin Abi Waqqash dan Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma keduanya wafat di Al-‘Aqiq. Namun, kemudian jenazahnya dibawa ke Madinah dan dimakamkan di sana.” (Al-Muwatha’, no. 977)

Bentuk lubang kuburan

Ada dua bentuk lubang kuburan yang biasa digunakan, yaitu syaq dan lahd (lahad). Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

اللَّحْدُ: الشَّقُّ فِي جَانِبِ الْقَبْرِ؛ فيَحْفِر في أرضِ القَبْرِ مِمَّا يلي القبلةَ مكانًا يُوضَع المَيِّت فيه. والشَّقُّ هو أن يَحْفِرَ في أرض القَبرِ شقًّا يَضَعُ المَيِّتَ فيه، ويَسْقِفُه عليه بشيءٍ

Lahad adalah lubang yang berada di sisi dinding kuburan. Digali lubang pada dasar kuburan yang menghadap kiblat, untuk tempat diletakkannya mayit. Adapun syaq adalah lubang yang digali pada dasar kuburan, sehingga bisa ditutup dari bagian atasnya.” (Al-Mughni, 2: 371-372)

Kesimpulannya, lahad itu dibagian pinggir, sedangkan syaq itu di bagian tengah dari lubang kubur.

Ulama 4 mazhab sepakat bahwa lahad lebih utama dari pada syaq. Berdasarkan hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

الْحَدُوا لي لَحْدًا، وانصِبوا عليَّ اللَّبِنَ نَصْبًا، كما صُنِعَ برسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم

“(Jika aku meninggal), buatlah liang lahad untukku, dan tegakkanlah di atasku batu bata. Sebagaimana yang dilakukan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 966).

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

Kembali ke bab 3 Daftar isi Lanjut ke bab 5


Artikel asli: https://muslim.or.id/82355-fikih-pengurusan-jenazah-4-persiapan-menguburkan-mayit.html